Jumat, 30 April 2010

SEJARAH PECINAN BANDUNG

oleh: attayaya

Menurut catatan sejarah, bangsa Tionghoa pertama kali datang ke Indonesia melalui ekspedisi Laksamana Haji Muhammad Cheng Hoo (1405-1433). Ketika itu, Cheng Hoo berkeliling dunia untuk membuka jalur sutra dan keramik. Cheng Hoo pun pernah menginjakkan kaki di pulau Jawa. Sejak ekspedisi itu, berangsur-angsur bangsa Tionghoa berdatangan dan membangun pecinan di beberapa daerah di pulau Jawa.

Kuncen Bandung, Haryoto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia, 1984), menuturkan bahwa sebagian warga Tionghoa di Pulau Jawa pindah ke Bandung ketika terjadi perang Diponegoro (1825). Setiba di Bandung, sebagian besar tinggal di kampung Suniaraja dan sekitar Jalan Pecinan lama. Mereka menetap dan mencari nafkah disana.

Tahun 1885 mereka mulai menyebar ke Jln. Kelenteng. Pecinan di Jln. Kelenteng di tandai dengan pembangunan Vihara Satya Budhi. Menurut keterangan pengurus Vihara Satya Budhi, pecinan di Bandung seperti rumah-rumah toko pada umumnya, tak ada asesoris khusus seperti pecinan di daerah lain di Indonesia. Warganya pun beragam, tak hanya keturunan Tionghoa.

Pecinan berkembang pesat disekitar Pasar Baru sejak 1905. Umumnya warga Tionghoa menjadi pedagang. Salah satunya, Tan Sioe How yang mendirikan kios jamu ”Babah Kuya” di Jln. Belakang Pasar, tahun 1910. Bisa dikatakan, toko Babah Kuya merupakan salah satu perintis toko di kawasan itu. Selain Babah Kuya, warga Tionghoa lain pun banyak yang mendirikan kios di wilayah ini.

Budayawan Tionghoa, Drs. Soeria Disastra, mengatakan bahwa pecinan memang ada, tapi tidak ada batasan. Maksudnya, hubungan warga Tionghoa dan Pribumi sekitar abad ke-19 dekat sekali. Akan tetapi, Belanda tidak senang melihat kedekatan itu. Belanda pun memisahkan Tionghoa dan Pribumi dari segi ekonomi. Warga Tionghoa dijadikan perantara perekonomian bangsa Eropa dan pribumi. Menjual rempah-rempah dari pribumi ke Belanda untuk di ekspor. Lama kelamaan kedekatan itu pun memudar.

Menurut Sie Tjoe Liong (75), generasi keempat pemilik kios ”Babah Kuya”, kawasan pecinan di Bandung terbentuk karena faktor politik. Warga pecinan tidak diizinkan berbaur dengan pribumi karna kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang memisahkan pemukiman orang asing dengan pribumi. Kebijakan itu tidak hanya untuk warga Tionghoa tetapi juga untuk Arab dan Eropa.

Selain di Pasar Baru, kawasan pecinan juga tumbuh di Suniaraja dan Citepus tahun 1914. setiap pecinan dipimpin oleh Wijkmeester. Wijkmeester untuk daerah Suniaraja adalah Thung Pek Koey, sedangkan untuk daerah citepus Tan Nyim Coy. Wijkmeester di pimpin oleh seorang Luitennant der Chineeschen. Di Bandung, Luitennant-nya adalah Tan Djoen Liong (H. Buning, ”Maleische Almanak”, 1914).

Para pemimpin Tionghoa itu diabadikan di beberapa tempat misalnya di sekitar jalan Chinees-Wijk Citepus, ada pula Gang Goan Ann di Andir dan Jap Lun.

Sie Tjoe Liong menjelaskan, ketika peristiwa Bandung Lautan Api (1946). Kios-kios di Pasar Baru dibakar tentara Belanda. Wilayah Bandung terpisah menjadi bagian utara dan selatan. Kedua wilayah dibatasi rel kereta api yang membujur dari Cimahi hingga Kiara Condong. Wilayah utara dikuasai Belanda, sedangkan selatan oleh pribumi dan warga asing.

Akibat peristiwa itu, warga Tionghoa mengungsi ke kawasan Tegalega, Kosambi, Sudirman, dan Cimindi. Dengan demikian, dari Pasar Baru, kawasan pecinan meluas ke daerah-daerah tersebut. Warga Tionghoa dan pribumi pun bersatu kembali.

Belanda menyebut kawasan ini Groote Post Weg. Pada masa pemerintahan Orde Lama (1945-1968), pemerintah membatasi bidang ekonomi dan politik. Akan tetapi, menurut Soeria Disastra, dari segi kebudayaan pemerintah membuka pintu lebar-lebar. Lain lagi dengan pemerintahan orde baru (1968-1998), warfa Tionghoa mengalami pembatasan di segala bidang, kecuali ekonomi. Lagi-lagi, jurang pemisah itu pun muncul lagi.

Akan tetapi, di Zaman reformasi (1998-2008), kehidupan sudah lebih baik. Kebebasan yang diberikan mencakup hampir di segala bidang. ”pengakuan Imlek sebagai libur nasional adalah hal yang sangat berarti bagi kami,” kata Soeria.

Saat ini, daerah Pecinan di Bandung semakin luas meliputi Jln. Pasar Baru, Jln. ABC, Jln. Banceuy, Jln. Gardu Jati, Jln. Cibadak dan Jln. Pecinan Bandung. Namun, Sie Tjoe Liong berpesan agar warga pribumi dan Tionghoa tetap akur.

”Sekarang mah ga ada pecinan teh. Sudah berbaur. Interaksi antara warga Tionghoa dan pribumi telah berlangsung lama. Kita adalah bangsa Indonesia,” kata dia.

Sumber:
KALAWARTA
Berita Komunitas Kota Baru Parahyangan
Edisi Februari 2010
http://www.attayaya.net

Rabu, 28 April 2010

Ensiklopedi Pemikiran Emha Ainun Nadjib


1. kenapa kita tak bersedia merasa sebagai anak yang sedang belajar, sehingga ketidakmampuan itu wajar dan tak perlu ditutup-tutupi. Kenapa kita cenderung menciptakan diri menjadi nabi-nabi kecil yang bersabda dengan gagah perkasa
2. Tak seorang pun mampu mengada tanpa karena
3. Yang kita kehendaki dari anak-anak kita terutama adalah kepatuhan dan ketertiban dalam ukuran-ukuran kita sendiri. Kita kurang memiliki tradisi empati untuk membayangkan dan sampai batas tertentu membiarkan anak-anak kita menjadi diri mereka sendiri.
4. Sastra sekuler tidak otomatis steril dari Tuhan dan ketuhanan, seperti halnya atheism hanyalah tahap atau batas pengetahuan ketuhanan tertentu, atau kita tidak bias menyatakan, kita hidup di bumi dan Tuhan nun di sana. Semua terletak dalam ruang lingkup Tuhan. Oleh karena itu tidak usah kaget apabila menjumpai sebuah karya sastra sekuler tiba-tiba terasa sedemikian mendalam kadar Religiusitasnya.
5. Kesadaran wahid adalah proses perjalanan menuju Tuhan atau menempuh metode di dunia ini untuk tiba kembali pada-Nya. Manusia menempuh karier, meraih status, nama baik, dan hiasan harta benda, yang seluruhnya itu diorientasikan kepada penemuan Tuhan. Karier, nama baik, harta benda adalah tarikat menuju Tuhan, dan bukan Tuhan itu sendiri
6. Manusia mesti memutuskan sesuatu untuk menemukan dirinya kembali, memilih tempatnya berpijak, menentukan kedudukannya. Di tengah ilmu yang makin menumbuhkan ruh. Di tengah pengebirian agama, pendangkalan kebudayaan, ironi kenyataan yang palipurna, penindasan yang disamarkan, penjajahan dengan senyuman. Ini zaman darurat, apa yang bias kau perbuat? Mengubah masyarakat? Itu impian sekarat.
7. Kehidupan berhenti ketika seseorang memilih aman daripada gelisah dan resiko.
8. Proses apapun, apalagi perlawanan dan pembebasan, mestilah ditempuh dengan kerja keras terus-menerus, penguasaan atas segala yang diperlukan oleh proses itu, serta persediaan waktu yang tidak pendek.
9. Puisi bukan apa-apa. Ia hanya bikinan manusia. Sedang manusia bukan apa-apa, kecuali ia yang bekerja agar ia lebih dari sekedar bukan apa-apa. Apapun saja bukan apa-apa kecuali Tuhan.
10. Saudaraku, dimana saja aku adalah aku, sebagaimana di hutan pun engkau adalah engkau.
11. Di tengah seribu hal yang menympekkan, tak kurang jua yang meringankan.
12. Yang terkenal belum tentu bermutu, yang bermutu belum tentu dikenal.
13. Kita terseret untuk membenci orang kaya, atau mencintai kemiskinan, saking getolnya membela orang miskin. Jadi sama halnya dengan setiap orang memeras orang miskin, karena sangat getol dengan kekayaan. Artinya, apakah untuk menjadi kaya harus melalui memiskinkan orang dahulu?
14. Kambing jangan seenaknya menyimpulkan bahwa harkatnya lebih tinggi daripada ayam, karena makanannya rumput dan dedaunan sementara ayam makan debu dan ulat-ulat kotor. Sebab kebudayaan ayam memiliki perspektif nilai-nilainya sendiri, memiliki acuan estetika dan hokum kesehatannya sendiri, yang tidak bias dibandingkan dengan kerangka acuan kambing.
15. Persetubuhan itu baik, tapi jika dilakukan tidak pada tempat dan waktunya, ia menjadi pemerkosaan. Korupsi itu toh hanya mengambil, Cuma yang diambil bukan haknya.
16. Keburukan itu tidak ada. Keburukan adalah kebaikan yang tidak diletakan pada ruang dan waktu yang semestinya. Sama halnya dengan kebencian, sesungguhnya ia adalah gelar dari cinta yang disakiti.
17. Zaman ini adalah zaman yang paling merasa tahu segala sesuatu, tetapi dimana-mana terjadi kedunguan dan ketidaktahuan terhadap hakikat kehidupan disbanding peradaban-peradaban masa silam. Alangkah sakit jiwanya.
18. Zaman sekarang adalah zaman yang mengaku paling sehat dan memuncaki ilmu dan tekhnologi kesehatan, tetapi berderet-deret penyakit baru muncul. Alangkah sakit jiwanya.
19. Zaman sekarang adalah zaman dimana nilai-nilai, substansi, makna kata, hakikat realitas, dijungkirbalikan secara sengaja seperti menaruh bola mata dibalik ketiak. Alangkah sakit jiwanya.
20.Orang yang kehilangan, setidaknya akan ingat bahwa ia kehilangan. Tapi kalau terlalu lama ia merasa kehilangan sesuatu, akhirnya yang hilang bukan hanya sesuatu itu, tetapi juga rasa kehilangan itu sendiri.
21. Yang ada tinggi rendah itu hanya nilai. Kalau manusia ya sama saja.
22. Manusia apapun posisinya harus belajar bergaul dalam kesejajaran harkat, dalam keadilan dan keseimbangan nilai diantara mereka.
23. Baik orang penindas maupun orang yang tertindas layak kita cintai. Hanya saja, cara kita mencintai harus berbeda. Kaum tertindas kita cintai dengan santunan dan sumbangan perubahan, sedang kaum penindas kita cintai dengan cara menegur atau mendongkelnya.
24. Tidak ada barang yang hilang, paling-paling pindah tempat.
25. Kenapa pengetahuan kalian tidak membuat kalian mengerti?
26. Khilaflah pandangan yang mengatakan bahwa manusia berhak dan mampu menyutradarai dirinya sendiri secara total. Namun lebih khilaf lagi jika dikatakan bahwa manusia, rakyat, lahir ke dunia hanya sekedar untuk menjalani penyutradaraan.
27. Kita dilarang membiarkan kebodohan. Apalagi kebodohan yang sombong.
28. Betapa tersiksanya untuk tidak percaya kepada sesama manusia.
29. Biarlah ia menipu, biarlah ia puas bahwa saya seakan-akan percaya pada tangisnya. Kalau tidak salah, Tuhan sendiri tahu persis bahwa sangat banyak hamba-hamba-Nya menipu-Nya setiap hari. Mengingkari janji untuk patuh kepada-Nya. Tapi apakah dengan itu lantas Tuhan menghentikan terbitnya matahari gara-gara dia jengkel ditipu manusia?
30. Jangan sampai kita mengeksploitasi persahabatan atau kemanusiaan untuk hal-hal yang bersifat professional.

sumber:http://menjawabdenganhati.wordpress.com

Selasa, 27 April 2010

Sejarah Bahasa Sunda

Sejak kedatangannya pada abad ke-17 ke Hindia Belanda, orang Belanda sangat sedikit yang mengetahui jika Sunda memiliki Budaya sendiri. Paradigma semacam ini berlanjut hingga pada abad ke 19. Sebelumnya pada tahun 1811-1816, Raffles, Gubernur Inggris di Jawa mendorong untuk melakukan penelitian tentang sejarah dan kebudayaan lokal. Dalam buku History of Java, Raffles masih dibingungkan, apakah Sunda itu dialek atau bahasa yang mandiri. Ia pun menyatakan bahasa Sunda itu adalah sebagai varian dari bahasa Jawa, bahkan ada juga yang menyebut bahasa Sunda sebagai bahasa Jawa Gunung dibagian barat.

Pada masa selanjutnya para cendekiawan Belanda yang berstatus pejabat pemerintah, swasta dan para penginjil menemukan sunda sebagai etnis sendiri. Pengetahuan etnografi ini sangat dibutuhkan, paling tidak untuk mempermudah komunikasi antara Belanda dengan Pribumi. Peristiwa penemuan ini ditunjang pula oleh upaya pemerintah kolonial bekerjasama dengan para Sarjana Belanda, membagi Nusantara kedalam wilayah Budaya yang berbeda-beda, antara lain Jawa, Sunda, Madura – masing-masing dengan bahasa mereka sendiri.

Belanda tentunya memiliki tujuan, karena masing-masing wilayah memiliki potensi alam yang berbeda. Seperti daerah Priangan sangat penting dari segi ekonomi, karena sebagai penghasil kopi. Belanda mendorong para elite lokal untuk menjalankan roda administrasinya sendiri, serta mendorong untuk belajar pendidikan formal. Dari sini para Bumiputra menyadari, bahwa memang ada perbedaan bahasa dan budaya diantara mereka.

Pada tahun 1829 M, Andries de Wilde, seorang pengusaha perkebunan di Sukabumi melakukan studi etnografi tentang daerah Priangan. Ia berpendapat bahwa bahasa sunda merupakan bahasa tersendiri. Cuplikan pendapatnya, sebagai berikut :

* Bahasa yang dituturkan diwilayah ini adalah bahasa sunda. Bahasa ini berbeda dengan bahasa Jawa dan Melayu. Namun demikian, ada banyak kata-kata yang pelan-pelan masuk atau diambil dari kedua bahasa yang disebut belakangan. Aksara yang dipakai para ulama adalah Arab ; banyak pemimpin lokal juga menegenal bahasa itu ; jika tidak memakai aksara itu, penduduk pada umumnya memakai aksara Jawa.

Kemudian dalam revisi yang dilakukannya pada tahun 1830, ia mengumpulkan banyak kata-kata Sunda mengenai pertanian, adat istiadat, dan Islam. Hasil penelitiannya semakin meneguhkan bahwa Sunda adalah etnis tersendiri.

Bahasa memang lajim disebut pertanda bangsa – Basa Ciciren Bangsa (een volk). Pendapat ini dikemukakan pula pada tahun 1920-an oleh Memed Sastrahadiprawira, seorang sarjana sunda. Ia mengemukakan :

*“Basa teh anoe djadi loeloegoe, pangtetelana djeung pangdjembarna tina sagala tanda-tanda noe ngabedakeun bangsa pada bangsa. Lamoen sipatna roepa-roepa basa tea pada leungit, bedana bakat-bakatna kabangsaan oge moesna. Lamoen ras kabangsaanana sowoeng, basana eta bangsa tea oge lila-lila leungit”

Dalam perkembangan selanjutnya, dikalangan Sarjana Sunda yang dianggap cukup berpengaruh bukan hanya bahasa dan etnisitas, tapi juga budaya. Pandangan ini menyatakan bahwa : bahasa merupakan representasi, cerminan suatu kebudayaan ; dan menentukan serta mendukung etnisitas. Bahasa dianggap sebagai pengusung terpenting dari suatu Budaya.

Bahasa Sunda resmi diakui sebagai bahasa yang mandiri mulai pada tahun 1841, ditandai dengan diterbitkannya kamus bahasa Sunda yang pertama (Kamus bahasa Belanda-Melayu dan Sunda). Kamus tersebut diterbitkan di Amsterdam, disusun oleh Roorda, seorang Sarjana bahasa Timur. Sedanhkan senarai kosa kata Sunda dikumpulkan oleh De Wilde. Kemudian Roorda membuat pernyataan :

Pertama-tama (kamus) ini bermanfaat, khususnya supaya bisa lebih kenal dekat dengan bahasa yang sampai sekarang pengetahuan kita mengenainya sangat sedikit dan tidak sempurna ; bahasa itu dituturkan di wilayah barat pulau Jawa, yang oleh penduduk setempat disebut Sunda atau Sundalanden, yang berbeda dari bahasa di wilayah timur pulau itu ; bahasa itu sangat bebeda dengan yang pantas disebut bahasa jawa dan juga melayu, yaitu bahasa yang digunakan orang-orang asing di kepulauan Hindia Timur.

Berdasarkan khasanah naskah Sunda yang berhasil di data Edi S. Ekadjati dkk (1988), dikemukakan, Pada abad ke 19 merupakan masa peralihan kehidupan naskah Sunda, yaitu dari masa transisi antara lain ditandai dengan lahirnya naskah-naskah berbahasa dan beraksara Jawa, berbahasa dan beraksara Arab, serta berbahasa Jawa dan beraksara Pegon yang dimuali pada abad ke-17 kemasa baru yang ditandai lahirnya naskah-naskah Sunda dengan menggunakan aksara cacarakan, Pegon, dan Latin yang dimulai pada pertengahan abad ke-19. Pada Masa itu telah ada pula penulis dan pengarang Sunda terkenal, seperti Raden Haji Muhamad Saleh dan Raden Haji Muhamad Musa. Tentunya Muhamad Musa terkenal dengan Karyanya “Panji Wulung”.(*)

sumber:http://uheababil.blogspot.com

MILIK IING

Milik Iing mirilik ti sisi ti gigir. Bi Icih ti Cikijing ngirim kicimpring, cingcirining milik Iing lir istri pinilih. Ditilik ti gigir kriting, diintip ti pipir.. bintit. Bisi Bi Icih isin, Iing nitip pipiti isi cicis. Ih, Bi Icih nyirintil lir ijid. "Iing, Bi Icih ngirim kicimpring bisi Iing ngicip-ngicip giribig di pipir Nini Imi. Bi Icih ijid ngintip pipiti isi cicis. Bi Icih ngirim lin bisnis kicimpring! Jig nyingkir! Si!"

Iing inggis digitik Bi Icih, tirilik nyingkir. Di pipir Nyi Iting, Iing nilik-nilik bitis. Jih, bitis Nyi Iting 'ning. Iing ngintip birit Nyi Iting ti pipir, nyidik-nyidik bisi imbit Nyi Iting mirip pipiti Bi Icih.

"Ngintip, Ing?" Nyi Iting mimiti inggis diintip.

Iing cicing, birit Iing tiis. Ting! Iing mikir ngicip-ngicip Nyi Iting.

"Nyingkir!" Biwir Nyi Iting kiriting.

"Nyi Iting, Iing inggis digitik Bi Icih. Iing ngiring cicing di Nyi Iting," Iing mimiti ciriwis.

Nyi Iting gigis mikir Bi Icih, sirintil nilik-nilik Iing. "Iing tiris?"

Iing cicing, inggis nyi Iting mikir-mikir nyisig piriwit. Iing inggis digitik.

"Bisi tiris, cicing di pipir!" Nyi Iting mimiti tiis.

Iing ngincig mipir-mipir sisi bilik. Ih, milik si Iing. Nyi Iting nyiwit birit Iing, Iing nyiwit pipi Nyi Iting.

"Idih, Iing ciriwis... hi..hi..hi..," Nyi Iting nyikikik, tirilik ngiring ngiciprit mipir-mipir sisi bilik. Iing mikir. Nyi Iting ngiring? Cingcirining Nyi Iting...tiris!

Prikitiw!

Copyright © 2010 - Tata Danamihardja
Hak Cipta ditangtayungan ku undang-undang. Salira diwenangkeun nyutat ieu tulisan - boh sapalih atanapi sagemblengna - kalawan sarat kedah nyebatkeun sumber sareng ngaran nu nulis. Mugia janten uninga.

WEUREU PEUTEUY

Ceuceu jeung Neuneu keur reureuh deukeut beus beureum. Beuheung Neuneu euleugeug neuteup peuteuy meuhpeuy jeung leubeut deukeut kleub keurseus teuleum.

"Euleuh-euleuh, deungeun teuteureuy Ceu," ceuk Neuneu teu euleum-euleum. Ceuceu ceuleumeut nyeueung peuteuy leubeut jeung beuneur deukeut beungkeut seureuh.

"Heueuh, Neu. Eunceup yeuh, meuleum peuteuy jeung beunteur keur nyeubeuhkeun beuteung. Ceuceu geus leuleus neureuy beunceuh geuneuk jeung keuyeup reuneuh teu eureun-eureun." Ceuceu meureudeuy.

Neuneu nyeuleukeuteuk, "Heu..heu..heu.. Ceuceu, ceuceu.. Neureuy beunceuh jeung keuyeup reuneuh? Geuleuh Ceu, jeung teu seubeuh. Leuheung peuyeum, teu geuleuh jeung nyeubeuhkeun beuteung."

"Neuneu!" Ceuceu ngeuleuweuh. Leungeun Ceuceu ngeukeuweuk beubeur Neuneu, peureup Ceuceu deukeut beungeut Neuneu. Beungeut Ceuceu euceuy.

"Beuteung beuteung Ceuceu, beunceuh jeung keuyeup leueuteun Ceuceu. Teu Neu, Ceuceu teu geuleuh," Ceuceu nyeuneu.

"Heureuy Ceu.." ceuk Neuneu keueung neuleu Ceuceu neugtreug. "Ceuceu eudeuk beuleum peuteuy?"

"Peuteuy? Eudeuk Neu. Meungpeung peuteuy keur meuweuh jeung beuneur. Neureuy beuleum peuteuy jeung leupeut, leuh eunceup," Ceuceu meureudeuy. Beungeut Ceuceu geus teu euceuy.

"Ceuceu teu ceuceub nyeueung Neuneu?" ceuk Neuneu keukeuh keueung.

"Teu Neu, Ceuceu geus teu ceuceub." Ceuceu neuteup Neuneu seukeut. Neuneu reueus Ceuceu geus teu peupeuleukeuk.

Ceuceu jeung Neuneu ngeureuyeuh neureuy beuleum peuteuy teu eureun-eureun. "Teureuy Neu, meungpeung seueur. Peupeujeuh," ceuk Ceuceu geugeut.

Neuneu nyeuleukeuteuk. Ceuceu nyeukeukeuk. Leuh, Neuneu jeung Ceuceu weureu peuteuy euy!


Copyright © 2010 - Tata Danamihardja
Hak Cipta ditangtayungan ku undang-undang. Salira diwenangkeun nyutat ieu tulisan - boh sapalih atanapi sagemblengna - kalawan sarat kedah nyebatkeun sumber sareng ngaran nu nulis. Mugia janten uninga.

Jumat, 23 April 2010

anaking.salapan de.smp talenta.2009.





Mengenang.Kebersamaan.Adalah.Hal.Yang.Indah.Kita Menangis.Tertawa.Bercanda.Semua.Menjadi.Cerita.Untuk.Suatu.
Masa.Kelak.Selamat.Berjuang.Mencapai.Cita.Cita.Kalian.Semua.
Jangan.Lupakan.Hari.Ini.haturnuhun.atas kerjasama kalian:abed.randy.chris.alvin.CT.vincent.alnand.jono.clifford.
gisell.priskilla.icha.CC.giovanni.tata.nia.beatrice.catherine.
caecil.nie.anna.asti.yustin.kenny.bene.evan.willian.darian.dan gerry (tdk ada d foto,ga tau knp waktu itu dia ga ikut)
punten pisan lamun nulis namina lepat.

Hasan Mustapa


Haji Hasan Mustapa atawa kawentarna Panghulu Haji Hasan Mustapa (Cikajang, 3 Juni 1852 atawa 14 Sya'ban 1268 H - Bandung, 13 Januari 1930 atawa 12 Sya'ban 1348), ulama sakaligus sastrawan Sunda ahir abad ka-19/awal abad ka-20.

Masarakat Sunda biasa nyebut Hasan Mustapa salaku Panghulu Haji Hasan Mustapa (salajengna dina ieu artikel disebut HM), sabab kalungguhanana di Bandung nyaéta salaku 'Panghulu Besar' (Hoofd Panghoeloe). Ngaran Hasan Mustapa téh paméré rama jeung akina; 'Hasan' ti bapana, sedengkeun 'Mustapa' ti akina. Ngaran bapana nyaéta Mas Sastramanggala (Haji Usman), camat kontrakan entéh Cikajang, Garut, turunan Bupati Parakanmuncang, Tumenggung Wiratanubaya. Ibuna, Nyi Mas Salpah (Éméh), téh putra Mas Kartapraja, sarua camat kontrakan entéh Cikajang, turunan Dalem Sunan Pagerjaya di Suci, Garut. Mun nilik pancakakina mah, boh ti pihak indung atawa ti ramana, HHM téh turunan priyayi. Malah mah, numutkeun silsilah bupati Sukapura, HHM téh jéntré tedak ménak, turunan bupati Sukapura.

Kahirupan ménak Sukapura nu dalit jeung kaislaman (utamana jaman Subangmanggala putra Kangjeng Dalem Anggadipa nu diasuh ku Séh Abdul Muhyi), sigana mah mangaruhan kana diri HHM. Komo kolotna hayangeun pisan sangkan HM jadi ulama, nepi ka cenah ditirakatan puasa senén-kemis salila tilu taun. Dina umur tujuh taun, HM mimiti ancrub kana kahirupan pasantrén nalika dititipkeun ka Kiyai Hasan Basri ti Kiarakonéng, ahli Qiro’at, nu boga pamadegan yén pangajaran maca Qur’an téh mangrupakeun dasar atikan agama. Ti anjeunna, HM bisa maca Qur’an kalawan hadé.

Dina umur 8 taun, HM pernah diasupkeun ka Sakola Kabupatén ku Holle, tapi teu disatujuan ku bapana maké alesan rék dibawa ka Mekah. Tadina mah Holle keukeuh hayang HM sarua sakola jeung budak priyayi lianna, tapi antukna mah éléh da bapana keukeuh. Di Mekah anjeunna kungsi guguru ka Séh Mukri. Samulangna ka lemah cai, HM neruskeun masantrén ka Kiyai Hasan Basri, nepi ka ngolotok, hafid Qur'an. Ti dinya, HM neruskeun guguru dasar-dasar nahwu-sorop ka Rd. H. Yahya, pangsiunan panghulu Garut, teras ka Kiyai Abdul Hasan di Tanjungsari, Sumedang pikeun nyuprih élmu sorop, nahwu, jeung fiqh. Ti Sumedang, anjeunna balik deui ka Garut pikeun guguru ka Kiyai Muhammad jeung Kiyai Muhammad Ijrai. Lian ti éta, sigana mah HM ogé kungsi guguru ka Kiyai Abdul Kahar (Surabaya) jeung Kiayi Halil (Madura), ogé sababaraha kiyai asal Nusantara di Mekah, kayaning Séh Nawawi Al-Bantani, Abdullah Al-Zawawi, Hasbullah, Séh Abubakar Al-Satha.

Dina buku Aji Wiwitan, HM nyebutkeun yén anjeunna geus neuleuman genep welas rupa élmu, di antarana ushul, tasawuf, jeung tauhid. Ogé disebutkeun yén anjeunna geus neuleuman élmuna di Mekah, di antarana ka Séh Muhammad, Séh Abdulhamid, Séh Ali Rahbani, Séh Umar Sani, Séh Mustomal Apipi, Sayid Bakir, jeung Sayid Abdul Janawi. Tina kasang tukang atikanana, bisa dijinekkeun yén HHM digedékeun di lingkungan pasantrén, sarta disawawakeun di Mekah. Di Mekah téh anjeunna salila dalapan taun, sarta mulang nalika umur 30 (taun 1882). Salila di Mekah, anjeunna wawanohan jeung Snouck Hurgronje. Nalika mulang ka Garut, ramana téh geus pupus. Ti samulangna ti Mekah, anjeunna harita geus katelah kiyai/ajengan (ulama). Kusabab diajak Hurgronje, HHM lajeng ngumbara ka sababaraha tempat, nepi ka kungsi jadi panghulu di Acéh, saméméh mulang deui ka Bandung kalawan kalungguhan panghulu besar di Bandung nepi ka pangsiunna.

Lian ti kawentar ku kalungguhanana salaku Panghulu Besar, HHM téh pinter sarta luhung élmuna, boh ngeunaan agama atawa kabudayaan (hususna Sunda). Anjeunna ogé kawentar salaku pangarang nu karyana loba pisan. Ku sabab kitu, HHM téh kawentarna lain ukur di lingkungan pamaréntah, tapi ogé di masarakat jeung budayawan. Anjeunna dianggap salaku bujangga Sunda nu nepi ka kiwari can aya tandinganana. Sababaraha dangdingna dipikawanoh pisan ku masarakat, kitu ogé banyol-banyolna. Pamadegan hirupna ogé, pikeun nu resep mah, sok baé diteuleuman; sigana mah dumasar kana buku-buku nu kungsi sumebar, kayaning Balé Bandung jeung Syéh Nurjaman.

Loba nu nyangka yén HHM mimiti ngarang sanggeus balik ti Acéh, padahal Wangsaatmaja nyebutkeun yén HHM mah basa keur di Mekah gé geus kungsi nulis buku leutik dina basa Arab nu judulna Fathul Muin, medal di Mesir. Kern ogé nyebutkeun yén basa keur di Mekah téh HHM kungsi nulis buku-buku kaagamaan jeung puisi Arab nu medal di Kairo. Dumasar kana karya-karyana anu bisa kakumpulkeun, anjeunna leuwih getol nulis sanggeus jadi Panghulu Besar Bandung, sanggeus pangsiun. Malah ceuk Wangsaatmaja mah, 20 poé saméméh pupus gé HHM masih miwarang Wangsaatmaja nuliskeun pamikiranana dina buku poéanana. Karya munggaran HHM nu kanyahoan téh titimangsana taun 1899, nyaéta naskah nu judulna Aji Wiwitan Gelaran, buku jilid ka-3, sedengkeun nu panungtung judulna Aji Wiwitan Aji Saka II, buku jilid ka-14, nu numutkeun Wangsaatmaja mangrupakeun kumpulan kasauran HHM saméméh pupus. Dina mangsa 31 taun (1899 nepi ka 1930), HHM ngahasilkeun puluhan karya ngeunaan pamikiran, rarasaan, sarta pamendak anjeunna ngeunaan agama, tasawuf, filsafat, adat kabiasaan urang Sunda, jeung kajadian-kajadian nu kaalaman ku anjeunna. Nu kacatet sarta bisa kakumpulkeun aya 49 buku. Ti sakabéh karya-karyana, nu matak hélok mah dangdingna nu jumlahna kira 10000 bait.

Salaku pangarang, gaya dangding HHM loba nu niron, utamana ku pangarang Sunda sanggeus perang. Sedengkeun karyana ngeunaan adat jeung kabudayaan Sunda, loba ditalungtik ku oriéntalis Walanda, malah ku Kern kungsi ditarjamahkeun kana basa Walanda. Salaku ulama nu sok nulis ngeunaan agama jeung tasawuf, HHM teu ukur dipikawanoh ku maasrakat Sunda, tapi ogé ku ulama jeung ahli tarékat Jawa, Madura, malah nepi ka Irak, Mesir, jeung Kualalumpur. Ku kituna, HHM diaku pisan jasana ku Pamaréntah, sahingga taun 1977 dileler Piagam Hadiah Seni jeung piagam panghargaan ti Pamaréntah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat taun 1965.

Sanggeus pangsiun, HHM kadang sok medar agama jeung tasawuf dina pasamoan-pasamoan informal, kadang di bumina, kadang di tempat séjén, di imah jalma nu hayang ngadéngékeun pamikiran-pamikiran anjeunna. Pasamoan ieu ku HHM sok disebut “ngawarung bandung”. Dina pasamoan éta, HHM teu kungsi ngarasa jeung teu kersa ngaguruan. Kitu ogé nu ngariung dina éta pasamoan, tara ieuh ngaku salaku murid HHM, sabab guguru mah cenah ngabalukarkeun pribadi jalma jadi teu mekar. HHM miharep sangkan unggal jalma bisa bébas neuleuman sarta ngedalkeun sagala pamanggihna, luyu jeung kamampuhna séwang-séwangan. Kusabab kitu, pedaran HHM pikeun jalma-jalma nu sok ngawarung bandung mah katampana téh sok béda-béda tapsirna. Hal ieu katiténan di antara para jamaahna, misalna antara Ajengan Bangkonol jeung Kiyai Kurdi ti Singaparna. Kasebutkeun yén sanggeus ngalenyepan ajaran agama jeung tasawuf ti HHM, Ajengan Bangkonol geuwat ngabubarkeun pasantrénna sarta nyoéhkeun bedug nu aya di masjidna, alatan ngarasa dosa geus ngajarkeun paham agama nu salah. Sedengkeun Kiyai Kurdi, sanggeus ngalenyepan pedaran nu sarua, pasantrénna kalah digedéan sahingga santrina leuwih loba.

Teu kanyahoan aliran tarékat naon anu diagem sarta diajarkeun ku anjeunna. Aya nu nyebutkeun yén anjeunna ngawasa sakabéh alirann tarékat, tapi teu milih salah sahiji ti antarana. Aya ogé nu nyebutkeun yén anjeunna ngagem aliran Satariah. Nu écés mah, karya-karya HHM mindeng nyabit-nyabit yén anjeunna resep ka al-Ghazali, misalna dina pustaka Aji Wiwitan Istilah, buku jilid ka-1 jeung Aji Wiwitan Aji saka, buku jilid ka-14.

Sacara umum, karya-karya HHM mangrupakeun kumpulan nu pajeulit ngeunaan naon-naon anu kalenyepan ku anjeunna, adu manis antara Islam, tasawuf, kabudayaan Sunda, otobiografi, jeung kajadian-kajadian nu kaalaman.

sumber:wikipedia.org

Dialog Dengan Maut

Karya Syarifudin Zuhri

Berita kematian berada dimana-mana
Hampir tiap detik ada kematian
Di segala penjuru dunia
Kematian begitu tergambar jelas dan nyata
Di TV, di Internet, di koran dan majalah
Berita kematian demi kematian

Di Irak, kejahatan penjajah Pemerintah Amerika
Membuat kematian semakin dekat
Di Irak, kematian dengan berbagai bentuknya
Gerilyawan Irak… terus menerus menjemput maut
Darah berceceran di mana-mana
Tangis, air mata dan darah
Mengabarkan kematian demi kematian

Bom bunuh diri
Menjemput maut dengan caranya sendiri
Melawan penjajah tak kenal henti
Terkutuklah para penjajah dimana pun kau berada

Tsunami menghantam Aceh 26 Desember 2004
Memberitakan kematian dan maut
Tak kurang 150.000 jiwa melayang
Syahid bagi yang beriman

Tsunami meluluhlantakan Aceh dan sekitarnya
Dalam hitungan kilat
Ratusan ribu orang nyawanya melayang
Memberitakan duka

Dan gempa bumi di Jogyakarta dan sekitarnya
27 Mei 2006
Meluluhlantakan kehidupan
Jeritan kematian kembali menggema
Tak kurang dari 5000 jiwa melayang
Tewas dalam hitungan menit !

Gempa di Haiti telah menghancurkan kehidupan
Tak kurang dari 100.000 orang tewas
Malaikat maut memberitakan kehadiranya
Peringatan bagi yang masih hidup
Bahwa kematian datang dengan tiba-tiba
Tak di duga …..

Yang diantisipasi bahaya letusan GunungMerapi
Berminggu-minggu penduduk mengungsi
Yang ditakuti letusan Gunung Merapi
Tapi gempa bumi yang terjadi
Tanpa bisa diprediksi
Ribuan orang mati

Malaikat maut bertanya
Tak cukupkah berita kematian yang kukirimkan kepadamu?
Tak cukupkah kau baca berita kematian yang tiap saat ?
Tak cukupkah kau melihat di TV berbagai jenis kematian ?
Tak cukupkah kamu melihat disekelilingmu bahwa kamatian sudah hadir dihadapanmu ?
Masihkah kau tak mau bertobat ?
Masihkah kau bangga dengan dosa-dosa ?
Masihkah kau tunda untuk beribadah kepadaNya ?
Masihkah kau terus berpoya-berpoya bergelimang dosa dan noda ?
Atau kematian datang padamu dan kamu baru bertobat ?
Terlambat !

Tanyakan kemana orang tuamu sekarang ?
Dimana sekarang mereka berada ?
Tanyakan di mana sebagian saudara, teman dan sahabatmu sekarang ?
Dimana sekarang mereka berada ?
Mereka sudah diambil yang punya
Mereka sudah kembali kepada pemiliknya
Mereka sudah dijemput maut
Dengan caranya masing-masing

Malaikat maut bertanya
Tidak cukupkan berita kematian yang ku kabarkan setiap hari padamu ?
Berita kematian sudah ku sampaikan lewat TV, Internet, Cerita, SMS, koran, majalah dll
Masih kau sangsi bahwa aku akan datang padamu ?
Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu
Tanpa kau duga
Tanpa bisa kau prediksi
Tiba-tiba
Kau mati !

“Bila aku datang”, kata Malaikat maut
Putuslah semua yang kau banggakan
Putuslah semua harapanmu
Putuslah semua cita-citamu
Putuslah semua yang kau cintai dan mencintaimu
Putuslah semuanya, kecuali amal jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh
Putuslah kamu dengan segala harta benda yang kamu miliki
Lalu apa yang kamu cari, jika semua akan kau tinggalkan ?

Wahai …. pecinta dunia
Tak cukupkah kau melihat kematian menari-nari dimatamu ?
Tak cukupkah kau melihat maut dihadapanmu ?
Tak cukupkah kau sadari bahwa kematian semakin dekat, bukan semakin jauh ?
Tidakah kau merasakan bahwa malaikat maut sedang tersenyum padamu ?
Tidakah merasakan bahwa detak jantungmu bisa tiba-tiba berhenti ?
Tidakah kau sadari bahwa napasmu bisa tiba-tiba berhenti ?
Tidakah kau sadari bahwa nyawamu bisa melayang dengan tiba-tiba ?
Dan tiba-tiba saja rohmu kembali kepadaNya
dan kau mati
Kapan ? Hanya masalah waktu.

Kematian adalah tema yang paling ditakuti
Terutama bagi pendosa
Atau justru tema paling dilupakan dan dijauhkan
Mereka takut bila kematian menjelang
Kok kematian melulu yang dibicarakan, kan kita masih hidup ?

Mereka yang lupa akan kematian
Akan terus bergelimang dosa
Apalagi merasa masih muda

Mereka yang lupa kematian
Padahal sudah tua
Akan terus terus bergelimang dosa
Kematian baginya hanya sebatas kata
Mati
Itu saja
ya mati
Lalu, kenapa kalau aku mati ?
“Itu urusanku”, katanya

Berita kematian bagi orang-orang seperti itu
Hanya sebatas kata-kata
Tak merubah apapun
Tak ada kata tobat baginya
Tak ada kata sadar baginya
Tak ada kata ibadah baginya
Mari minum, minuman keras
Mari bernyanyi, nyanyian keras
Mari mabuk, semabuk-mabuknya
Lupakan kematian
Buat apa ingat kematian ?
Mari terus pesta
Sampai ajal tiba

Malaikat Maut tetap tersenyum
Melihat orang-orang tak juga sadar
Melihat orang-orang tak juga tobat
Melihat orang-orang yang bangga dengan dosa-dosa
Melihat orang-orang yang tak juga mau sholat

Malaikat hanya tersenyum
Sambil menunggu perintahNya
Malaikat Izroil hanya petugas
Dan hanya menjalankan tugasNya
Bila tak ada perintahNya
Malaikat maut hanya diam menunggu

Saat Malaikat maut menunggu perintahNya
Saat itu nyawamu masih ada
Saat itu kesempatan hidup masih ada
Saat itu pintu tobat masih terbuka
Saat itu bonus Allah masih diberikan padamu
Maka
Pergunakanlah kesempatan emas ini
Jangan sia-siakan
Pergunakanlah untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya
Jadikan ladang amal
Tebarkanlah benih-benih kebaikan
Carilah ridhoNya

Saat Malaikat maut menunggu perintahNya
Seakan dia berkata
Ayo segera tobat
Ayo segera kembali kepadaNya
Ayo segera sholat
Ayo segera berbuat kebaikan
Ayo segera beramal sebanyak-banyaknya
dan berdoalah
Ya Allah … hidup dan kematian
Keduanya berasal dariMu
Engkaulah yang menghidupkan dan Engkaulah yang mematikan
Maka hidupkanlah hamba dalam kebaikan
Dan matikan hamba juga dalam kebaikan
Amin.

Bandung Purba



Bandung dina jaman purba, numutkeun hasil panalungtikan, mangrupakeun hiji talaga nu dikuriling ku pagunungan, sakumaha katingali ku urang kiwari yén Bandung téh dikuriling ku pagunungan. Ieu kayaan téh 35 rébu taun anu geus kaliwat, dina mangsa talaga Bandung keur meujeuhna ngeplak caina.

Talaga Bandung panjangna kira 50 km, lébarna 30 km, mimiti ti Cicaléngka beulah wétan, nepi ka Rajamandala beulah kulon, jeung ti Majalaya, Banjaran beulah kidul nepi ka Dago beulah kalér. Ditilik sacara géomorfologi, talaga Bandung téh rada déngdék ka beulah kulon jeung kira béh tengah aya galengan saolah olah talaga teh dibagi dua nyaéta beulah wétan jeung beulah kulon. Ieu galengan téh perenahna aya di Curug Jompong. Pikeun babandingan, jerona talaga Bandung Purba téh mun kiwari mah di wewengkon Cigéréléng 45 m, Buahbatu 49 m, Cibiru 52 m, Pasirkoja 39 m, Tolo Kopo 54 m.

Rangkayan gunung kuna nu ngurilingan talaga Bandung, di antarana Gunung Puncaksalam, Pasir Kamuning, Pasir Kalapa, Gunung Lalakon, Pasir Malang, Gunung Selacau, Lagadar, Padakasih, Jatinunggal, nepi ka Gunung Bohong di beulah kidul Cimahi.

Talaga Bandung beulah kulon mimiti ngorotan kira kira 6000 taun nu geus kaliwat, nu pangheulana bobol téh nyaéta di daerah Pasir Kiara (aya ogé nu nyebutkeun di Sanghyang Tikoro) beulah kidul Rajamandala.

Di jaman kuartier kala pleistosen, kira kira 500.000 taun nu geus kaliwat, Gunung Sunda (purba) mimiti mucunghul, gunung api raksasa anu rohaka, dibeulah wétanna aya gunung Bukittunggul jeung beulah kulonna aya gunung Burangrang. Gunung Sunda ngajegir, jangkungna kira antara 3000-4000 méter. Tangkuban Parahu harita can aya.

Kira kira 375 rébu taun lilana Gunung Sunda ngajegir, nangtawing jadi tanda Tatar Sunda, nepi ka 125 rébu taun nu geus kaliwat Gunung Sunda mimiti bitu, sagala material gunung mancawura, bukti anu masih keneh katingal tug nepi ka kiwari nyaéta ayana "patahan Lémbang" anu panjangna kira-kira 22 km ngulon-ngétan. Mun hoyong atra mah coba tingali ti Maribaya beulah kidul, atawa di beulah kidul Pasar Lémbang. Ti dinya atra katingal patahan Lémbang. Tina matrial bituna Gunung Sunda téh di antarana nya ngajadikeun Talaga Bandung sok sanajan harita mah caina can pinuh pisan.

Sanggeus Gunung Sunda bitu, dina tengah-tengah urut bituna mimiti bijil gunung anyar, nyaéta pisan cikal bakal gunung Tangkuban Parahu. Jadi, Tangkuban Parahu téh anakna Gunung Sunda (purba).

Gunung T. Parahu bitu 70 rébu taun nu geus kaliwat, tah matrial tina bitu gunung T. Parahu téa nu leuwih numpuk ngajadikeun Talaga Bandung beuki ngalegaan nya nepi ka 35 rébu taun kaliwat nu dianggap panggedéna cai Talaga Bandung (dina mangsa kiwari ogé aya nu disebut Gunung Sunda di beulah kalér Gunung Tangkuban Parahu, ngan Gunung Sunda ieu mah teu jangkung, ngan ukur 1000 méteran.)

Dina mangsa kiwari, lamun téa mah Gunung Tangkuban Parahu bitu deui (da nepi ka ayeuna ge G. Tangkuban Parahu téh tetep dianggap gunung nu aktip), naha Talaga Bandung bakal kajadian deui...?

sumber:wikipedia.org

Tradisi Ngaliwet Orang Sunda

Ngaliwet, demikian istilah yang lazim digunakan oleh masyarakat sunda yang akan mengadakan makan bersama dengan menu spesial di akhir pekan.

Ngaliwet bukan hanya sekedar makan bersama melainkan, ada ritual masak bersama pula. Mulai dari patungan biaya membeli bahan makanan atau menyumbangkan jenis bahan makanan mentah untuk dimasak. Ngaliwet menjadi tradisi orang sunda yang telah lama ada. Hampir setiap akhir pekan terutama para remaja mengadakan acara ngaliwet. Entah sejak kapan tradisi ngaliwet tersebut sudah berlangsung. Para remaja biasanya mengadakan ngaliwet pada malam minggu ataupun hari minggu menjelang makan siang.

Ngaliwet menjadi acara special karena, disajikan dengan cara yang berbeda dari memasak nasi biasa. Ngaliwet membutuhkan sebuah kastrol untuk memasak. Bentuknya bulat lonjong. Biasanya sering digunakan sebagai peralatan camping. Sebelum memasak nasi, terlebih dahulu diawali menggoreng irisan beberapa siung bawang merah lalu memasukkan air dengan ukuran perbandingan beras. Bumbu tambahannya biasa digunakan beberapa daun salam, sereh, dan garam.

Untuk lauknya bisa apa saja sesuai selera dan modal keuangan juga. Terkadang dengan membakar ikan mas atau ayam, bisa juga yang lebih sederhana menggunakan ikan asin, lalapan, dan sambal. Ikan asin pun biasanya dimasak cukup dengan disimpan di atas nasi yang sudah hampir matang. Demikian juga dengan lalapan dan bahan untuk sambal, semua disimpan diatas nasi.

Setelah nasi matang, maka, akan disiapkan beberapa lembar daun pisang sebagi pengganti piring untuk alas makan. Semua nasi dan lauk-pauknya disebar merata ke seluruh bagian daun pisang sesuai jumlah orang yang ikut serta dalam acara makan tersebut. Ngaliwet juga biasanya dilaksanakan di luar rumah. Bisa di kebun, bukit gunung, atau pinggiran sawah. Tergantung letak geografis sebuah wilayahnya. Saya dahulu biasa ngaliwet di bukit gunung karena rumah saya tidak terlalu jauh dengan gunung tersebut.. Nama gunungnya Gunung Walat di Sukabumi yang merupakan hutan pendidikan bagi Mahasiswa IPB.

Saudara saya yang berada di Cikarang kerap kali bertandang ke rumah ibu saya di kampung hanya untuk sekedar ngaliwet. Mereka membawa bahan makanan untuk dibuat liwet oleh ibu saya. Kata mereka, “Makan nasi liwet di kampung membuat selera makan bertambah.” Memang benar, sajian nasi liwet bisa membuat seseorang menambah porsi makan. Namun, bagi Anda yang sudah memiliki kelebihan berat badan, jangan terlalu sering ngaliwet.

Jika Anda pernah ngaliwet ataupun memakan nasi liwet. Silahkan melengkapi tulisan saya ataupun mengoreksinya. Terima kasih.

sumber:sosbud.kompasiana.com

Dewi Sartika




Déwi Sartika (Bandung, 4 Désémber 1884 - Tasikmalaya, 11 Séptémber 1947), inohong Sunda dina widang atikan jeung kabinangkitan kaom istri. Diaku salaku Pahlawan Nasional ku Pamaréntah RI taun 1966.

Déwi Sartika lahir ti kulawarga ménak Sunda, Nyi Radén Rajapermas jeung Radén Somanagara. Najan ngarempak adat kabaheulaan, ramana keukeuh nyakolakeun Déwi Sartika, malah ka sakola Walanda pisan. Sapupus ramana, Déwi Sartika dirorok ku uwana (lanceuk ibuna), nu jeneng patih di Cicaléngka. Ti uwama anjeunna meunang atikan kasundaan, sedengkeun wawasan kabudayaan Kulon beunang pangwuruk istri Asistén Résidén.

Ti leuleutik, Déwi Sartika geus némbongkeun bakat pangatik jeung kakeyeng kana kamajuan. Bari ulin di pipir gedong kapatihan, anjeunna sok sasakolaan, ngajar baca tulis, malah ngajarkeun basa Walanda, ka barudak anak babu, juru masak, jongos, kusir, jeung pangebon kapatihan. Minangka borna, nyaéta papan bilik kandang karéta, nulis maké areng, sabakna sesemplékan kenténg.

Harita téh ukur Déwi Sartika kakara sapuluh taunan, Cicaléngka geunjleung alatan barudak badéga kapatihan barisaeun baca tulis jeung sababaraha kecap basa Walanda. Geunjleung, sabab jaman harita mah teu loba anak cacah boga kabisa kitu, komo beunang ngajar budak awéwé.

Nalika geus rumaja, Déwi Sartika mulang deui ka ibuna di Bandung. Jiwana anu beuki sawawa, terus ngagiring anjeunna kana ngawujudkeun angen-angenna. Hal ieu karojong ku watek pamanna, Bupati Martanagara, pamanna pituin, nu mémang boga kereteg nu sarua. Ngan, pamanna teu kitu baé bisa ngawujudkeun kahayang alona, sabab adat jaman harita nganggap awéwé teu perlu sakola, cukup ku bisa migawé naon rupa nu bisa pikeun ngawulaan salaki.

Tina ku sumanget jeung keyengna, tungtungna Déwi Sartika bisa ngayakinkeun pamanna, sangkan diwidian ngadegkeun sakola istri.

Taun 1906, Déwi Sartika nikah ka Radén Agah Suriawinata, saurang nonoman nu sapikir sahaluan, sajiwa sacita-cita, guru di Sakola Karang Pamulang, nu harita jadi Sakola Latihan Guru.

Tanggal 16 Januari 1904, Déwi Sartika muka Sakola Istri munggaran sa-Indonésia. Murid-muridna angkatan munggaran aya 20 urang, migunakeun rohangan pandopo kabupatén Bandung.

Sataun ti harita, 1905, sakolana nambahan kelas, sahingga merlukeun pindah ka Ciguriang. Lulusanana mimiti kaluar taun 1909, ngabuktikeun ka bangsa urang yén awéwé taya bédana jeung lalaki, bisa nampa pangajaran modél Kulon. Taun 1910, sakolana diropéa migunakeun harta banda pribadina sahingga bisa nyumponan sarat-sarat sakolaan formal.

Taun-taun salajengna di sawatara Tatar Sunda mitembeyan jlug-jleg sakola istri, utamana dikokolakeun ku sababaraha istri Sunda nu saangen-angen jeung Déwi Sartika. Taun 1912 geus aya salapan Sakola Istri di kota-kota kabupatén (satengahna ti julmah kota kabupatén sa-Pasundan). Dina umur anu kasapuluh, taun 1914, ngaran sakolana diganti jadi Sakola Kautamaan Istri. Kota-kota kabupatén Tatar Sunda nu can boga Sakola Kautamaan Istri kari tilu/opat deui. Malah meuntas heula ka Bukittinggi, Sakola Kautamaan Istri diadegkeun ku Encik Rama Saléh. Tatar Sunda kakara lengkep miboga Sakola Kautamaan Istri di unggal kota kabupatén dina taun 1920, katambah ku sababaraha nu ngadeg di kota kawadanaan.

Bulan Séptémber 1929, Déwi Sartika nyieun pangéling-ngéling sakolana nu geus ngadeg salila 25 taun, sarta sakolana ganti ngaran jadi "Sakola Radén Déwi". Kana giatna dina ngamajukeun rahayat, utamana kaom istri, Déwi Sartika diganjar bintang jasa ku pamaréntah Hindia-Walanda.

sumber:wikipedia.org

SLANK

Slank Formasi Lawas


Slank adalah sebuah grup musikdi Indonesia. Dibentuk oleh Bimbim pada 26 Desember 1983 karena bosan bermain musik menjadi cover band dan punya keinginan yang kuat untuk mencipta lagu sendiri. Dan berhasil menjadi salah satu musisi bersejarah dan dikenang serta berpengaruh sepanjang masa di Indonesia. Selain itu Slank juga menyandang predikat Indonesia's Highest-Paid Music Star (bintang musik berbayaran termahal) pada tahun 2008 dan 2009 dengan honor Rp 500 Juta per show.

Awal Karir
Cikal bakal lahirnya Slank adalah sebuah grup bernama Cikini Stones Complex (CSC) bentukan Bimo Setiawan Sidharta (Bimbim) pada awal tahun 80-an. Band ini hanya memainkan lagu-lagu Rolling Stones dan tak mau memainkan lagu dari band lain, alhasil mereka akhirnya jenuh dan menjelang akhir tahun 1983 grup ini dibubarkan.[1]

Bimbim meneruskan semangat bermusik mereka dengan kedua saudaranya Denny dan Erwan membentuk Red Evil yang kemudian berganti nama jadi Slank[2], sebuah nama yang diambil begitu saja dari cemoohan orang yang sering menyebut mereka cowok selengean[1] dengan personel tambahan Bongky (gitar) dan Kiki (gitar). Kediaman Bimbim di Jl. Potlot 14 jadi markas besar mereka dan menjadi situs wajib yang harus dikunjungi para Slanker.

Mereka sempat tampil di beberapa pentas dengan membawakan lagu-lagu sendiri sebelum Erwan memutuskan mundur karena merasa tidak punya harapan di Slank.[1] Dengan perjuangan panjang terbentuklah formasi ke-13, Bimbim, Kaka, Bongky, Pay dan Indra, Slank baru solid.[2]

Dengan formasi Bimbim (Drum), Bongky (Bass), Pay (Gitar), Kaka (Vokal) dan Indra (Keyboard) mereka mulai membuat demo untuk ditawarkan ke perusahaan rekaman.[1]

Setelah berulang kali ditolak, akhirnya tahun 1990 demonya diterima dan mulai rekaman debut album Suit-Suit... He He He (Gadis Sexy). Album yang menampilkan hit Memang dan Maafkan itu meledak dipasaran sehingga mereka pun diganjar BASF Award untuk kategori pendatang baru terbaik. Album tersebut juga seakan "menampar" industri musik Indonesia yang kala waktu itu masih gencarnya lagu lagu Malaysia seperti tembang Issabella milik Search. Musik Slank yang Rock 'N Roll Blues itu bisa dibilang penyelamat kaum anak muda di Indonesia. Gayanya yang cuek dan slengean tapi bersahabat itu menarik massa yang saat itu masih sebatas minoritas.

Album kedua mereka, Kampungan pun meraih sukses yang sama. [1]. Hits single dari album Kampungan adalah Mawar Merah dan Terlalu Manis yang dibuat dalam dua versi. Suka suka dan Jualan. Namun anehnya,, justru lagu yang versi Suka suka lah yang menjadi hits dan sering dimainkan. Lagu nya memang damai karena Kaka bermain harmonika (bukan pertama kali ini saja Kaka bermain harmonika). Di album Kampungan ini pun,Slank memasukkan lagu Nina Bobo. Nafas Rock 'N Roll dan Blues masih terasa di album ini. Wajar,, karena nyawa musik Slank ada di situ.

Tahun 1993 bulan Desember, Slank merilis Album ketiga yang diberi judul Piss/Tiga. Semboyan Peace di plesetkan menjadi Piss. Semboyan Piss menjadi trend di masa itu (mungkin juga sampai sekarang). Hits single dari album ini adalah Piss dan Kirim Aku Bunga. Cover album ini adalah seorang model yang meniru pose Jim Morisson (The Doors). Namun banyak yang berpendapat bahwa model di cover tersebut adalah Bimbim.

Tahun 1994, Slank lagi-lagi merilis sebuah album yang diberi titel Generasi Biroe. Lagu ini juga sering dibawakan sampai saat ini. Hits single dari album ini adalah Generasi Biroe, Terbunuh Sepi, dan juga Kamu Harus Pulang yang sering dimainkan saat ending show mereka.

Album ke lima mereka, Minoritas dirilis pada Januari 1996. Menampilkan single Bang Bang Tut yang juga sukses dipasaran dan masih sering dinyanyikan di show mereka. Di album ini juga Bim Bim menyanyikan sebuah lagu miliknya yang berjudul Bidadari Penyelamat. Unik nya,, lagu ini tidak ada aransemen apapun. Hanya suara Bim Bim saja.

Perpecahan Band
Pada saat menggarap album keenam (Lagi Sedih), Bimbim selaku leader akhirnya memutuskan untuk memecat Bongky, Pay dan Indra.[1]. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa Bongky, Indra dan Pay keluar atau mengundurkan diri karena perilaku Bimbim dan Kaka yang sudah terlampau parah dalam penggunaan narkoba. Perpecahan tersebut sebenarnya sudah bisa terlihat di album ke empat mereka di lagu Pisah Saja Dulu. Bimbim bahkan berniat untuk membubarkan Slank. Namun sebuah surat yang ditulis dengan darah oleh seorang Slanker membuatnya mengurungkan niatnya. Isinya menyeramkan. Dia bersumpah untuk membunuh Bimbim jika Bimbim benar benar melaksanakan niatnya untuk membubarkan Slank. [2] Kaka dan Bimbim tetap menggarap album ke-6 dengan bantuan additional player[2]. Reynold masuk untuk mengisi posisi gitar dan Ivanka yang waktu itu sering nongkrong di Potlot juga ikut membantu dalam mengerjakan project Slank untuk album ke enam dengan formasi masa transisi ini.

Album Lagi Sedih pun dirilis pada Februari 1996. Dengan single Koepoe Liarkoe dan Tong Kosong membuktikan Slank masih survive. Tawaran manggung pun berdatangan. Dan saat tinggal beberapa kota yang akan diselesaikan dalam rangkaian show nya,, Reynold menyatakan ingin keluar dari Slank. Alasannya karena beliau juga tidak kuat karena Bimbim dan Kaka yang saat itu masih terjerumus dengan narkoba. Walaupun saat itu sudah dibujuk untuk menunda pengunduran dirinya,, Reynold tetap tidak ingin melanjutkan sisa show nya. Saat itu lah reformasi di tubuh Slank terjadi.

Narkoba
Terbujuk rayuan teman di Bali 14 tahun lalu, Bimbim—penabuh drum grup musik Slank—dan keponakannya, Kaka—vokalis Slank—pun mencecapi ”obat langit” yang membuat pemakainya melayang-layang dan ketagihan.

Waktu pertama kali mencoba (1994), mereka bilang badan jadi tidak enak. Muntah-muntah. Enek. Tapi kok besok paginya mencari lagi? Itulah putau, sekali pakai orang langsung ketagihan. Maka berlanjutlah ia memakai putau.

Semenjak memakai jenis narkoba ini, Bimbim yang biasanya pendiam, rapi, tak suka teriak-teriak, tiba-tiba berubah. Demikian juga Kaka.

Banyak pengalaman pahit, dari sejak mereka pakai (1994) sampai tahun 1999. Pengalaman di Lubuk Linggau (1998) juga tak terlupakan. Mereka ”kehabisan barang”, sakau. Tidak ada orang jual barang seperti itu di Lubuk Linggau. Bimbim sampai tidak bisa bangun, di kamar. Padahal mereka masih harus melayani wartawan, wawancara. Tinggal Kaka, yang badannya lebih kuat, melayani wartawan, meski dengan susah payah. [3]

Slank membantah anggapan bahwa dengan mengkonsumsi Narkoba seorang seniman bisa lebih kreatif, justru sebaliknya, tanpa menggunakan barang haram tersebut mereka terbukti bisa menghasilkan karya-karya bagus. [4]

"Saat membikin album pertama hingga ketiga, kami belum memakai Narkoba, tapi album itu terbukti paling bagus. Jadi, tanpa Narkoba kami bisa menghasilkan karya yang bagus. Setelah album ketiga, kami menjadi pengguna," ujar Kaka. [4]

Masuknya Abdee, Ridho, dan Ivanka (Formasi akhir)
Ivanka ditarik menjadi member resmi. Slank yang sepeninggal Reynold langsung bergerak cepat. Management langsung mencari orang untuk untuk menyelesaikan sisa show di beberapa kota. Ivanka merekomendasikan Abdee Negara untuk membantu Slank. Abdee dan Ivanka memang sebelumnya sudah bersahabat dan psatu Band di Flash. Sedangkan manager Slank waktu itu,,Mbak Wiwid mengontak Mohammad ridwan Hafiedz (Ridho) yang baru saja menyelesaikan sekolah gitarnya di Hollywood untuk diminta bantuannya. Mereka pun ditugaskan untuk menghafal 35 lagu Slank dalam waktu satu minggu. Sebuah target yang besar dan waktu yang singkat. Namun mungkin karena dua orang itu adalah seorang musisi yang hebat,, target tersebut tercapai. Dengan adanya dua gitaris ini sebenarnya sangat membingungkan juga karena sebelumnya Slank hanya memakai satu gitaris. Namun karena mepetnya waktu,, akhirnya dua orang tersebut dipake untuk melengkapi formasi inti Slank. Formasi ini bertahan hingga saat ini dan mereka terus melahirkan karya-karya yang menegaskan eksistensi mereka di dunia musik Indonesia.

Album baru dan semangat baru
Masuknya Abdee dan Ridho dalam formasi inti membuat Bimbim dan Kaka melanjutkan perjalanan bermusiknya. Diawali dengan album Tujuh yang dirilis January 1997 dengan single yang menghentak yaitu Balikin. Lagu yang menandakan bahwa Bimbim dan Kaka ingin rehat dan sehat dari ketergantungan. Ditambah dengan Abdee dan Ridho yang benar-benar bersih dari narkoba semakin menguatkan niat mereka. Mereka berhenti bukan karena takut diikuti massa yang memang sudah banyak,, namun mereka berhenti justru karena sudah banyaknya yang mengikuti mereka memakai narkoba. Album tersebut terjual satu juta copy hanya dalam hitungan minggu. Bimbim lagi-lagi menyumbang suaranya dalam lagu Bimbim Jangan Menangis. Sebuah curhatan yang tercipta sejak tahun 1993.

Album berikutnya Mata Hati Reformasi dirilis. Lagu-lagu di album ini banyak bercerita tentang masalah sosial dan pemerintahan di zaman reformasi. Ketinggalan Zaman menjadi andalan di album ini. Slank juga mengaransemen ulang lagu tradisional yang diberi judul Punk Java. Di album ini juga terdapat sebuah lagu yang seharusnya di rilis pada album Tujuh namun terkena sensor. Namun saat Orba rezim Soeharto runtuh, lagu tersebut bisa masuk dalam album ini. Siapa Yang Salah adalah judul lagunya. Yang unik dari lagu ini adalah lagu ini hanya dimainkan oleh Bimbim dan Kaka. Mereka berdua yang memainkan semua. Bimbim juga mengambil dua porsi lagu yang dia nyanyikan. Aktor Intelektual dan Nggak Mau Percaya. Di album ini Slank memberi bonus sebuah kalung tiap satu buah kaset original. Ada peringatan di belakang kaset untuk didampingi kepada pendengar dibawha umur. Banyak lagu yang direkam secara Live di album ini.

Tahun 1998 juga Slank menyelenggarakan konser dengan judul Konser Piss 30 Kota yang direkam dan dijual ke pasaran. Lagu yang direkam secara live dan ada bonus dua buah lagu baru yaitu Pintu dan Makan Gak Makan

Tahun 1999 Slank merilis double album yang diberi judul 999+09. Ada total 27 lagu yang dibuat dalam dua versi. Yaitu versi abu-abu dan versi yang biru. Versi yang biru memiliki single Bintang Kesiangan dan Anak Mami sedangkan versi abu-abu adalah Orkes Sakit Hati dan Ngangkang serta Malam Minggu Lagi. Lagu Orkes Sakit Hati memang ditujukan kepada orang-orang dan politisi yang cenderung menguraikan janji-janji manis nya. Di PV lagu tersebut juga Slank bermain di tengah-tengah masyarakat kecil. Bimbim mengambil jatah dua lagu dari masing-masing album. Sista Petty di album abu-abu dan Friday di album biru.Bonus dari album ini adalah sebuah kantong kecil yang biasa dipakai di ikat pinggang. Tahun 1999 pun menjadi tahun dimana Bimbim mengakhiri masa lajangnya dan menikahi seorang gadis bernama Reny.

Slank kemudian merilis sebuah album the best yang diberi titel De Bestnya Slank. Berisi lagu lag pilihan dengan satu lagu dari album sebelumnya yang di remix oleh DJ Anton di lagu Ngangkang. Dan sebuah live lagu Malam Minggu Lagi yang direkam di Potlot.

Next album,, Virus dirilis pada 2001. Berisi single Virus, Jakarta Pagi Ini, dan #1. Bonus dari album ini adalah sebuah tattoo dan kartu koleksi Slank. Lagu bertema sosial juga dimasukkan di album ini. Keprihatinan Slank tentang pembabatan hutan bisa ditangkap lewat lagu Lembah Baliem. Di lagu #1, Slank untuk pertama memasukkan unsur orkestra di lagu nya. Erwin Gutawa orkestra lah yang ikut membantu lagu yang ditaruh di track terakhir itu.

Sukses album Slank sendiri langsung diikuti dengan konser Virus Road Show 22 Kota di Indonesia dan hasil Live nya sendiri bisa didengar di album yang diberi judul A Mild Live Slank Virus Road Show dengan bonus tambahan satu buah lagu baru dengan judul yang sangat menarik, I Miss You But I Hate You dan bonus sebuah Koran Koranan Slank. Koran Koranan Slank ini adalah cikal bakal lahirnya media bulletin yang bisa didapatkan diluar (tanpa harus membeli kasetnya) secara berkala. Ini adalah album live kedua Slank setelah Konser Piss 30 Kota.

Dalam versi kaset,,terdapat permainan solo dari Abdee, Ridho, dan Ivanka. Rekaman lagu Pak Tani yang di Jember dimana terjadi keributan antar penonton pun dimasukkan di kaset ini. Namun jika Anda melihat yang versi VCD nya,, konser yang di ambil adalah yang di Jember. Di lagu Bocah, Ivanka bermain gendang terlebih dahulu sebelum memainkan gendangnya. Di lagu Pak Tani dimana ada keributan tersebut, Slank mengajak penonton untuk melakukan semacam tanya jawab di tengah-tengah lagu. Di lagu Kamu Harus Pulang yang menjadi penutup konser pun diselipi ucapan terima kasih kepada semua pihak di tengah-tengah lagu.

Seperti tak mengenal lelah,,Slank lagi-lagi merilis album studio kesebelas nya yang diberi titel Satu Satu (11) pada tahun 2003. Bulan dan Bintang, Gara-Gara Kamu, dan Jembatan Gantung menjadi hitsnya. Lagu Bulan dan Bintang juga masuk dalam soundtrack film Novel Tanpa Huruf R. Lagu Gara-Gara Kamu ditujukan kepada narkoba yang sempat membuat mereka mengalami masa-masa kritis. Tingkat kreativitas Slank saat itu bisa dibilang sangat tinggi dan sangat produktif. Bisa dibilang di tahun ini lah mereka benar-benar bersih dari ketergantungan. Album ini juga diikuti dengan award AMI Award kategori album rock terbaik. Album ini diberi bonus kondom dan kartu koleksi Slank. Cover depan album pun ditulis 'EDISI KHUSUS SUAMI ISTRI'. Di album ini Kaka sudah tidak berambut panjang gimbal namun menjadi lebih pendek namun tetap keriting. Bimbim menyumbang suaranya di lagu Menjadi Masalah. Di PV Jembatan gantung, Slank tidak tampil namun hanya para siswa sekolah yang diperankan Marshanda dan beberapa remaja lainnya.

Slank kemudian menyelenggarakan Satu-Satu Live Tour di kota-kota Indonesia. Beberapa lagu di konser tersebut dimasukkan ke album live ketiga mereka yang diberi titel Bajakan. Bajakan adalah bentuk kegelisahan Slank terhadap para pembajak yang dengan mudah dan gampangnya mencuri hak cipta seorang pemusik. Lagu lagu yang direkam semuanya adalah live hasil konser dibeberapa tempat dan event. Ada tiga lagu baru yang dimasukkan di album live ketiga Slank ini. That's All,, yang direkam pada konser Satu-Satu Live Tour ini menjadi single disusul Bendera 1/2 Tiang yang direkam di studio Parah di Potlot dan juga lagu hasil kolaborasi dengan group musik dari Korea Selatan berjudul South Asia. South Asia direkam secara live bersama Yoon Band dari Korea. Lagu ini pernah dibawakan saat Slank bermain di Korea. Yoon Band pun ikut berkolaborasi di lagu I Miss You But I Hate You milik Slank yang direkam pada acara Impresario. Sang vokalis dari Yoon Band mengubah liriknya menjadi bahasa korea. Lagu tersebut juga masuk dalam album Bajakan ini. Ada juga lagu dimana Slank berkolaborasi dengan raja dangdut Rhoma Irama di lagu Balikin. Kaka tidak banyak bernyanyi di lagu ini. Malah Rhoma lah yang mengambil hampir seluruh bagian yang dinyanyikan Kaka. Hasil konser Tiga Dimensi pun dimasukkan kesini. Ending album Bajakan adalah Sumpah Anti Pembajak yang di deklarasikan Slank bersama Slanker se-Indonesia. Bonus album ini adalah sebuah pick guitar.

Slank merayakan ulang tahun ke 20 nya di Lebak Bulus. Banyak para musisi yang meramaikan acara ini diantaranya Ungu, Koil, dll. 20 tahun bermain musik dan berkreasi belumlah cukup untuk Slank. Mereka masih ingin bermimpi dan meraih mimpi-mimpinya.

Album Live pertama di dunia
Memasuki tahun 2004 dimana punk berhasil menggebrak musik Indonesia, Kaka mengubah image dirinya dengan rambut mohawk. Punk ala Slank. Begitu mereka menyebutnya. Slank dan Naif menggelar konser bersama bernama Road to Peace 24 Kota. Yang menarik dari konser ini adalah, dibawakannya lagu-lagu baru yang belum pernah dibawakan dan hasil lagunya direkam secara live dan dijadikan album berikutnya. Jika biasanya Slank merekam lagu, rilis, kemudian tour,, kali ini tidak. Mereka tour sambil merekam secara live di panggung, baru kemudian merilisnya. Album ini diberi nama Road to Peace. Naif juga berkolaborasi di lagu Amrozy Gitting yang direkam di studio Parah milik Slank. Dua lagu yaitu Amrozy Gitting dan P3K direkam di Potlot, markas mereka sedangkan yang lainnya direkam di atas panggung. Mars Slankers dan Salah menjadi jagoan di album ini. Di album ini juga dimasukkan sebuah karya dari Mochtar Embut berjudul Mars Pemilu yang diaransemen menjadi aransemen rock oleh Slank. Album ini konon disebut sebagai album live pertama di dunia. Walaupun sudah pernah ada yang merekam full album secara live seperti Greateful Dead dan Blues Traveler,, namun band tersebut tidak merekam nya di atas panggung seperti yang dilakukan Slank. Untuk pematangan konsep pun, Slank tidak ragu dan malu untuk menyewa sebuah studio ketika Slank berada di kota tempat mereka akan show. PV lagu Mars Slanker mencampurkan unsur animasi di dalamnya sedangkan PV lagu Salah, lagi-lagi Slank tidak ada di video tersebut.Bonus dari album ini adalah sebuah poster dan masker berlogo peace yang di design oleh seorang Slanker dari Makasar.

Tahun 2004 ini juga Slank mewakili Indonesia untuk tampil di acara MTV Asia Aid di Thailand dan membawakan sebuah lagu yang diambil dari album Satu Satu yaitu Karikatur.


Di akhir tahun 2004, lagi-lagi Slank merilis sebuah album baru. P.L.U.R adalah nama albumnya. PLUR adalah singkatan dari kata Peace, Love, Unity, Respect. Sebuah semboyan baru Slank (sebelumnya Slank setia dengan jargon Piss). Album ini mengandalkan Ku Tak Bisa, Biru, dan Juwita Malam sebagai jagoan. Juwita Malam ini adalah lagu ciptaan Ismail Marzuki. Dibuat dalam dua versi. Punk dan Blues. Lagu Juwita Malam dan Biru masuk dalam soundtrack film Banyu Biru yang dibintangi Tora Sudiro. Bimbim bernyanyi kembali di lagu Indonesiakan Una. Bonus album ini adalah sebuat sticker dan poster kalender. Di tahun 2004 ini Slank merayakan ulang tahun ke 21 tahun di kota Surabaya pada 26 Desember bertepatan dengan bencana besar di Aceh. Sebenarnya di album ini pun Slank membuat lagu tentang Aceh yaitu Atjeh Investigation. Lagu Gossip Jalanan yang membuat gerah para politisi pun terdapat di album ini.

Diskografi

Album Studio
1. 1990 - Suit... Suit... He... He... (Gadis Sexy)
2. 1991 - Kampungan
3. 1993 - Piss!
4. 1995 - Generasi Biru
5. 1996 - Minoritas
6. 1996 - Lagi Sedih
7. 1997 - Tujuh
8. 1998 - Mata Hati Reformasi
9. 1999 - 999+09
10. 2001 - Virus
11. 2003 - Satu Satu
12. 2004 - Road to Peace
13. 2005 - PLUR
14. 2006 - Slankissme
15. 2007 - Slow But Sure
16. 2008 - Slank - The Big Hip
17. 2008 - Anthem For The Broken Hearted

Album Live
1. 1998 - Konser Piss 30 Kota
2. 2001 - Virus Roadshow
3. 2003 - Bajakan

Album Soundtrack
1. 2007 - Original Soundtrack "Get Married"
2. 2009 - Original Soundtrack Generasi Biru
3. 2009 - Original Soundtrack "Get Married 2"

sumber:wikipedia.org

Raden Machjar Angga Koesoemadinata

Raden Machjar Angga Koesoemadinata (sering ditulis Kusumadinata, Kusumahdinata, kusumah dinata, Anggakusumadinata; lebih dikenal dengan Pak Machjar atau Pak Mahyar; lahir di Sumedang, Jawa Barat, 7 Desember 1902 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 9 April 1979 pada umur 76 tahun) adalah seorang seniman dan musikolog Sunda. Ia dikenal sebagai pengarang lagu-lagu Sunda, pendidik yang mengkhususkan diri dalam memajukan pendidikan seni-suara Sunda, peneliti serta ahli teori musik Sunda, pecipta sistem notasi nada Sunda da mi na ti la dan penemu sistem 17 tangga nada Sunda.

Biografi
Pak Machjar yang dimasyarakat Jawa Barat lebih dikenal sebagai seorang seniman pencipta lagu-lagu Sunda sebenarnya adalah seorang pendidik dan pakar musikologi, khususnya etnomusikologi yang berspesialisasi dalam pelog dan salendro. Pengetahuannya mengenai seni musik pelog dan salendro didapatkan dari sejak kanak-kanak dengan berguru pada beberapa juru tembang dan nayaga, diantaranya belajar rebab pada nayaga ulung Pak Etjen Basara, Pak Sura dan Pak Natadiredjo, belajar gamelan pada Pak Sai dan Pak Idi, serta belajar tembang pada Pak Oetje juru pantun terkenal di Bandung.

Perkenalan Pak Machjar dengan metoda sains dan ilmu fisika, dan ilmu musik barat terjadi pada waktu ia menjadi murid di sekolah guru (Kweekschool dan Hogere Kweekschool). Dengan dasar ilmu musik barat dan ilmu fisika yang cukup mendalam, ia melakukan pengukuran dan penelitian frekuensi suara-suara dari perangkat gamelan dan lagu-lagu yang dinyanyikan maupun dimainkan pada rebab. Pada tahun 1923 (masih di bangku sekolah) ia telah menciptakan serat kanayagan (notasi tangga nada Sunda) da mi na ti la, serta menulis buku teori seni suara Sunda berjudul ‘Elmuning Kawih Sunda’. Setelah menamatkan HKS dan ditempatkan sebagai guru di HIS Sumedang (1924-1932), ia melanjutkan penelitiannya mengenai teori seni raras.

Suatu titik balik penting dalam kariernya sebagai peneliti adalah pertemuannya dengan Mr. Jaap Kunst, seorang etnomusikologi Belanda, antara tahun 1927-1929, yang sedang melakukan penilitian perbagai seni suara seluruh kepulauan Nusantara. Disini terjadi pertukaran ilmu, antara ilmu musik dari Jaap Kunst dan ilmu gamelan atau pelog-salendro dari Pak Machjar. Pada perioda inilah ia memahami lebih dalam konsep getaran suara serta cara mengukurnya dengan instrumen yang menyangkut konversi matematiknya ke sekala musik dengan menggunakan nilai logaritma, konsep interval cents dari Ellis (1884) dan Hornbostel (1920) serta music rule dari Reiner.

Tahun 1933, ia ditugaskan untuk membentuk pendidikan seni suara pada semua sekola-sekolah pribumi di Jawa barat dengan sistim da mi na ti la. Pada jaman pendudukan Jepang (1942-1945) ia mengajar di sekolah guru kemudian dari tahun 1945 sampai 1947 ia bekerja sebagai guru ilmu alam, sejarah dan bahasa Inggris di (SMP/SMA) Bandung. Setelah itu ia diangkat menjadi kepala dari kantor Pendidikan (koordinator Pendidikan Rendah) di Sumedang (1947-1950) dan selajutnya ditugaskan untuk pendidikan seni-suara pada sekolah-sekolah rendah dan menengah Jawa Barat di Bandung (1950-1952). Selanjutnya ia bekerja staf ahli di Jawatan Kebudayaan Jawa Barat di Bandung. Kemudian pada tahun 1958 (sampai 1959), ia diangkat menjadi Direktur utama Konservatori Karawitan Sunda Bandung. Selebihnya ia adalah dosen luar biasa mengajar ilmu akustik dan gamelan di Konservatori Karawitan Surakarta (1953-1959).

Menikah degan Ibu Saminah salah seorang lulusan pertama sekolah guru wanita Van Deventer di Salatiga. Ia dikarunia 10 orang anak, namun sayang tidak ada yang menggeluti kesenian, tetapi kebanyakan berkecimpung dalam bidang ilmu alam; Machjeu Koesoemadinata (alm), Kama Kusumadinata (alm, ahli volkanologi pada Direktorat Vulkanologi, Departemen Pertambangan), Ny Karlina Sudarsono (alm), dr. Soetedja Koesoemadinata (alm), Prof. Dr. R. Prajatna Koesoemadinata (guru besar emiritus dalam ilmu geologi ITB), Dr. Santosa Koesoemadinata (pensiunan peneliti biologi di Departemen Pertanian), dr. Rarasati Djajakusumah (alm), Prof. Dr. Roekmiati Tjokronegoro, (gurubesar dalam ilmu kimia di Universitas Padjadjaran), Muhamad Sabar Koesoemadinata (ahli Geologi Kwarter pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi), dan Ir. Margana Koesoemadinata (alm, ahli akustik di LIPI dan kemudian di KLH).

Penemuan dan hasil karya
Sebagai seniman pengarang lagu, Pak Machjar menciptakan lagu-lagu Sunda tradisional seperti Lemah Cai, Dewi Sartika, Sinom Puspasari, maupun penggubah lagu-lagu Sunda traditional dan menuliskannya dalam notasi da mi na ti la. Sebagai seniman ia juga seorang penulis sandiwara dan memelopori Gending Karesmen (opera Sunda) yang disebutnya sebagai Rinenggasari dengan karya nya antara lain Sarkam Sarkim (1926), Permana Permana Sari (1930), Sekar Mayang (1935), Tresnawati (1959) dan Iblis Mindo Wahyu (1968).

Sebagai ahli teori musik, khususnya dalam bidang Pelog dan Salendro, ia memformulasikan sistem notasi da mi na ti la untuk lagu-lagu Sunda, meneliti dan menulis teori mengenai seni raras dan gamelan diantaranya Ringkesan Pangawikan Rinengga Swara (1950), Ilmu Seni Raras (1969) dan juga buku lagu-lagu Sunda. Bersama Mr. Jaap Kunst, ia juga banyak banyak menghasilkan tulisan (publikasi) mengenai teori musik gamelan. Diantara hasil penelitian dan penciptaan dari Pak Machyar adalah gamelan eksperimental dengan 9-tangga nada (1937) untuk pelog dan gamelan 10-tangga nada untuk salendro (1938), dimana keduanya hilang pada jaman pendudukan Jepang (1942-45). Selain penciptaan gamelan monumental Ki Pembayun (1969), ia juga membuat gitar akustik 17 tangga nada.

Sumbangan terbesarnya terletak pada hasil penelitian yang benar-benar bersifat ilmiah yang menuju ke universalitas (unified theory) dari seni suara adalah teori 17 tangga nada Sunda (1950) dimana satu oktaf terdiri dari 17 interval yang sama dari 70 10/17 cents, dimana nada dari setiap laras (tangga nada) Sunda dapat diambil. Model ini bersifat universal karena memiliki nada-nada yang sangat lengkap dan bisa dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu dari berbagai tangga nada.

Didalam penelitiannya, ia menggunakan alat pengukur getaran suara monochord yang dibuatnya atas pertolongan ahli kecapi dan nayaga ulung Pak Idi. Alat ini dilengkapi dengan sekala getaran (frekuensi) yang diperoleh atas jasa baik Mr. Jaap Kunst dari laboratorium musikologi di Europa. Setiap kali monochord itu hendak digunakannya terlebih dahulu mengkalibrasikannya dengan garpu suara dengan getaran yang baku (660 hz). Alat itu ternyata cukup akurat sehingga juga dipergunakan oleh pakar-pakar musikologi seperti Prof. Collin McPhee dari Amerika Serikat dan C. Campagne, direktur sekolah musik di Bandung. Alat monochord in merupakan alat utamanya yang menyertainya ke mana-mana dalam melakukan penelitian mengenai Pelog Salendro sampai akhir hayatnya.

Ki Pembayun
Atas prakarsa dan bantuan dari Industri Pariwisata P.D. Provinsi Jawa Barat, yang diketuai oleh R.A. Sjukur Dharma Kesuma, pada tahun 1969 pak Machjar menciptakan gamelan yang diberi nama ‘Ki Pembayun’ (artinya si sulung) yang merupakan gamelan terbesar yang pernah ada di Indonesia. Gamelan ini dibuat untuk menunjukan penemuan teorinya sistem 17 tangga nada. Selain Laras Salendro, madenda, degung, kobongan Mataraman, lagu-lagu yang bertangga nada musik Barat dapat dimainkan pada gamelan ini.

Walaupun gamelan Ki Pembayun secara teknik sukar dimainkannya karena merupakan sesuatu yang tidak umum dan membutuhkan waktu lama untuk pelatihannya, namun sebagai bahan kajian, keberadaannya sangat penting. Tidak sedikit para pemikir dari negara lain kagum atas munculnya gamelan tersebut. Menurut ahli etnomusokologi Andrew Weintraub (2001), munculnya gamelan selap yang berkembang sekarang, pada dasarnya merupakan pengaruh dari gamelan Ki Pembayun. Sangat disayangkan sekali gamelan Ki Pembayun kemudian hilang raib. Satu-satunya jejak yang tertinggal mungkin hanya dari permainan gamelan ini yang sempat direkam dan difoto oleh Dr. Margaret Kartomi, profesor musik dari Monash University, Australia.

Penghargaan
Diantara penghargaan-penghargaan yang didapatkannya, adalah penghargaan tertinggi dalam bidang budaya; Piagam Anugrah Seni, sebagai ahli dan penyusun teori Karawitan Sunda dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (17 Agustus 1969), penghargaan Sebagai pencipta lagu rampak sekar Ibu Dewi Sartika (4 Desember 1975), dan penghargaan dari Ikatan Seniman Sunda (9 Mei 1959).

sumber:wikipedia.org

Kamis, 22 April 2010

Mang Koko


Koko Koswara, biasa dipanggil Mang Koko, (lahir di Indihiang, Tasikmalaya, 10 April 1917 – meninggal di Bandung, 4 Oktober 1985 pada umur 68 tahun) adalah seorang seniman Sunda. Ayahnya Ibrahim alias Sumarta, masih keturunan Sultan Banten (Sultan Hasanuddin). Ia mengikuti pendidikan sejak HIS (1932), MULO Pasundan (1935).

Bekerja sejak tahun 1937 berturut-turut di: Bale Pamulang Pasundan, Paguyuban Pasundan, De Javasche Bank; Surat Kabar Harian Cahaya, Harian Suara Merdeka, Jawatan Penerangan Provinsi Jawa Barat, guru yang kemudian menjadi Direktur Konservatori Karawitan Bandung (1961-1973); Dosen Luar Biasa di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung (sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung), sampai ia wafat.

Bakat seni dan karya-karyanya
Bakat seni yang dimilikinya berasal dari ayahnya yang tercatat sebagai juru mamaos Ciawian dan Cianjuran. Kemudian ia belajar sendiri dari seniman-seniman ahli karawitan Sunda yang sudah ternama dan mendalami hasil karya bidang karawitan dari Raden Machjar Angga Koesoemadinata, seorang ahli musik Sunda.

Ia juga tercatat telah mendirikan berbagai perkumpulan kesenian, diantaranya: Jenaka Sunda "Kaca Indihiang" (1946), "Taman Murangkalih" (1948), "Taman Cangkurileung" (1950), "Taman Setiaputra" (1950), "Kliningan Ganda Mekar" (1950), "Gamelan Mundinglaya" (1951), dan "Taman Bincarung" (1958).

Mang Koko juga mendirikan sekaligus menjadi pimpinan pertama dari "Yayasan Cangkurileung" pusat, yang cabang-cabangnya tersebar di lingkungan sekolah-sekolah seprovinsi Jawa Barat. Ia juga mendirikan dan menjadi pimpinan Yayasan Badan Penyelenggara Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), Bandung (1971). Pernah pula ia menerbitkan majalah kesenian "Swara Cangkurileung" (1970-1983).

Karya cipta kakawihan yang ia buat dikumpulkan dalam berbagai buku, baik yang sudah diterbitkan maupun yang masih berupa naskah-naskah, diantaranya:

* "Resep Mamaos" (Ganaco, 1948),
* "Cangkurileung" (3 jilid/MB, 1952),
* "Ganda Mekar" (Tarate, 1970),
* "Bincarung" (Tarate, 1970),
* "Pangajaran Kacapi" (Balebat, 1973),
* "Seni Swara Sunda/Pupuh 17" (Mitra Buana, 1984),
* "Sekar Mayang" (Mitra Buana, 1984),
* "Layeutan Swara" (YCP, 1984),
* "Bentang Sulintang/Lagu-lagu Perjuangan"; dan sebagainya.

Karya-karyanya bukan hanya dalam bidang kawih, tapi juga dalam bidang seni drama dan gending karesmen. Dalam hal ini tercatat misalnya:

* "Gondang Pangwangunan",
* "Bapa Satar",
* "Aduh Asih",
* "Samudra",
* "Gondang Samagaha",
* "Berekat Katitih Mahal",
* "Sekar Catur",
* "Sempal Guyon",
* "Saha?",
* "Ngatrok",
* "Kareta Api",
* "Istri Tampikan",
* "Si Kabayan",
* "Si Kabayan jeung Raja Jimbul",
* "Aki-Nini Balangantrang",
* "Pangeran Jayakarta",
* "Nyai Dasimah".

Penghargaan untuk Mang Koko
Mang Koko telah mendapat berbagai penghargaan dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, lembaga atau organisasi masyarakat (LSM), seperti diantaranya Piagam Wijayakusumah (1971), sebagai penghargaan tertinggi dari pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam kategori "Pembaharu dalam Bidang Seni Karawitan".

Saat membaca riwayat kehidupan Mang Koko, akan ditemui seorang manusia yang telah memasrahkan jiwa dan raganya demi kehidupan dan kelestarian seni, khususnya seni Sunda. Namun ia merasa sudah cukup bila ia disebut sebagai seorang penghalus jiwa, sebab seperti diungkapkan dalam salah satu kawihnya, seni adalah penghalus jiwa.

sumber:wikipedia.org

ANGKLUNG

Angklung nyaéta alat musik tradisional Sunda nu dijieun tina awi, dimaénkeun ku cara dieundeukkeun (awak buku awina neunggar sarigsig) sahingga ngahasilkeun sora nu ngageter dina susunan nada 2, 3, nepi ka 4 dina unggal ukuranana, boh nu badag atawa nu leutik. Laras (nada) nu dipaké angklung tradisional Sunda biasana saléndro jeung pelog.

Sajarah
Dina kasenian Sunda, nu migunakeun alat musik tina awi di antarana angklung jeung calung. Anapon awi nu sok dipaké nyieun ieu alat musik biasana tina awi wulung (awi nu kelirna hideung) jeung awi temen (kelir bodas). Sada nu kaluar tina angklung jeung calung asalna sarua, nyaéta tina solobong awi nu ngelentrung lamun ditabeuh (diadu).

Angklung geus dipikawanoh ku masarakat Sunda ti jaman karajaan Sunda, di antarana pikeun ngagedurkeun sumanget dina pangperangan. Fungsi angklung pikeun ngahudang sumanget ieu jadi sabab dicaramna ieu kasenian ku pamaréntah jajahan Hindia Walanda.

Kasenian angklung kiwari leuwih mekar deui, ku ayana unsur ibing luyu jeung kapentinganana, misalna dina upacara ngarak paré kana leuit (ngampih paré, nginebkeun) jeung dina mangsa mitembeyan melak paré (ngaseuk). Pon kitu deui dina mangsa panén jeung sérén taun, nu ilaharna aya acara arak-arakan nu kadang dibarengan ogé ku réngkong jeung dongdang.

Rupa-rupa angklung
Angklung Kanékés

Di wewengkon Kanékés, angklung utamana dipaké patali jeung upacara-upacara tatanén, lalin keur hiburan. Angklung dipaké nalika melak paré di huma jeung ngubaran paré (tilu bulan sanggeus dipelak). Sanggeus dipaké, angklung disimpen dina upacara musungkeun angklung.

Pikeun tujuan hiburan, angklung ilaharna dipidangkeun nalika caang bulan jeung teu hujan. Ieu hiburan téh digelar di buruan bari nembang, di antarana Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, jeung Culadi Dengdang.

Angklung Dogdog Lojor

Kasenian dogdog lojor ayana di masarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atawa masarakat adat Banten Kidul nu sumebar di sabudeureun Gunung Halimun. Najan kasenian ieu ngaranna dogdog lojor, luyu jeung salasahiji alat musikna, ieu kasenian dilengkepan ogé ku angklung, sabab patali jeung upacara adat paré. Unggal geus panén, masarakat ngayakeun acara Sérén Taun di puseur kampung adat (imah kokolot) anu biasana pindah-pindah luyu jeung paréntah tina wangsit.

Tradisi ngamulyakeun paré di ieu masarakat masih terus lumangsung, kusabab masarakatna masih pengkuh kana adat baheula. Dumasar pitutur turun-tumurun, ieu masarakat adat ngaku salaku turunan para prajurit karaton Pajajaran barisan Pangawinan (prajurit nu marawa tumbak). Najan kitu, masarakat kasepuhan ieu geus lila ngagem Islam sarta narima kana modérenisasi. Luyu jeung kamekaran ieu, dogdog lojor ogé kadang sok midang dina acara nyunatan, ngawinkeun, sarta karaméan lianna.

Kasenian dogdog lojor dimaénkeun ku genep urang nu nyepeng alat musikna séwang-séwangan, nyaéta dua dogdog lojor jeung opat angklung gedé, nu masing-masing boga ngaran: gonggong, panémbal, kingking, jeung inclok (noron ti nu pangbadagna).
Lagu-lagu dogdog lojor di antarana Balé Agung, Samping Hideung, Oléng-oléng Papangantén, Si Tunggul Kawung, Adulilang, jeung Adu-aduan.
Upami di Sukabumi kasohorna Dogdog loyor pangrojong dina acara panen.

Angklung Gubrag
Angklung gubrag ayana di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Ieu angklung umurna geus kolot, dipaké dina upacara melak, ngunjal, jeung ngadiukkeun paré ka leuit. Dumasar carita turun-tumurun, ieu angklung téh mimiti aya dina hiji mangsa paceklik.

Angklung Badéng
Badéng téh mangrupakeun kasenian nu asalna ti Sanding, Malangbong, Garut. Bentuk kasenian angklung ieu dipaké pikeun kapentingan da'wah Islam, kira abad ka-16 atau 17. Harita, Arpaén jeung Nursaen (dua warga Sanding), diajar Islam ka Demak. Samulangna ti Demak, aranjeunna nyumebarkeun ajaran Islam ka masarakat Sanding hususna migunakeun kasenian badéng.

Angklung nu dipaké dina pintonan badéng aya salapan: angklung roél dua, angklung kecer hiji, angklung indung jeung bapa opat, jeung dua angklung anak anu dibarengan ku dogdog dua, terebang atawa gembyung dua, jeung kecrék hiji. Rumpaka tembangna maké basa Sunda nu euyeub ku istilah basa Arab, nu kadieunakeun ogé ditambah ku basa Indonésia. Eusi rumpakana taya lian ti ajén -inajén Islam jeung pitutur. Pidangan ieu kasenian kadang ogé dibarengan ku debus nu mintonkeun élmu-élmu kawedukan.

Tembang-tembang badéng anu kawentar, di antarana Lailaha illalloh, Ya’ti, Kasréng, Yautika, Lilimbungan, jeung Solaloh.

Angklung Buncis
Buncis téh seni pintonan nu watekna hiburan, nu utamana kawentar di wewengkon Baros (Arjasari, Bandung).

sumber:wikipedia.org